Thursday, July 7, 2011

my book review from Nadia

Butuh waktu agak lama bagi saya mengunduh review dari Nadia ini. Berawal dari sebuah email yang mengatakan bahwa Nadia menggunakan buku saya "Cermat Memilih Sekolah Menengah yang Tepat". Saya merasa begitu tersanjung bahwa buku saya bisa bermanfaat bagi profesi psikologi teman saya ini. Berikut saya pindah reviewnya ke bawah ini. Semoga saja apa yang Nadia tulis tidak bias.
Untuk teman-teman yang sedang lagi cari sekolah menengah baik itu SMP, SMA dan sebagainya, pertimbangin deh untuk beli buku Dian ini. Seperti yang kita tahu, dunia pendidikan di Indonesia kan bergerak dengan sangat cepat, sehingga perlu waktu dan usaha yang ekstra untuk mengumpulkan informasi tersebut dengan akurat. Nah, di buku terangkum informasi yang sangat lengkap dan akurat mengenai sekolah menengah yang ada di Indonesia. Di sini dijabarkan dengan jelas apa itu sekolah internasional, nasional plus, sekolah alam, sekolah inklusi, dan lain sebagainya. Mungkin juga teman-teman menemukan jenis sekolah yang belum pernah didengar sebelumnya namun nampaknya sesuai dengan yang teman-teman inginkan. 

Tidak hanya untuk anak remaja, buku ini juga berguna lho bagi orang tua dengan anak remaja, guru, dan konselor untuk memberikan arahan kepada anak didiknya.  Buku ini dibuat dengan sangat komprehensif, namun bahasanya mudah dipahami. Dian benar-benar total dalam melakukan researchnya, bahkan sampai ada wawancara juga dengan pihak sekolah yang bersangkutan. Jadi keakuratan datanya tidak perlu ditanyakan lagi, karena kamu akan mendapat mendapatkan apa yang kamu ingin ketahui mengenai sekolah menengah di buku setebal 219 halaman ini. 

- Nadia
Penulis dan Mahasiswa S2 Profesi Psikologi
Read More...

Friday, June 3, 2011

lelah

Kalau matahari sebelumnya begitu hangat. Sekarang, saya justru merasa kepanasan diterpanya. Kalau dulu udara begitu menyegarkan. Sekarang, tak ubahnya kepulan asap pinggiran jalan. Kalau dulu kebebasan begitu nikmat maknanya. Sekarang, tak berarti apa-apa. Saya hanya ingin semuanya kembali seperti dulu. This is not my life. 

Kau boleh bilang saya tak mensyukuri hidup. Kau juga boleh bilang saya tak tahu terima kasih. Boleh juga kau tambahi bahwa saya hanya bisa meratap. Terserah. Yang saya tahu, saya tak menikmati semua ini. Yang saya pahami, saya tak bahagia. Itu sudah lebih dari cukup.
Read More...

Sunday, June 13, 2010

Sekolah Berlabel Internasional

Saya suka tajuk rencana Harian Kompas edisi sabtu lalu. Isinya mengenai sekolah berlabel internasional. Bahasan mengenai sekolah berstandar internasional bukannya tidak pernah ditulis Kompas, cukup sering malah. Beberapa kali saya menemukan (walau hanya satu kolom kecil), artikel yang bermuatan sekolah berlabel internasional. Tetapi tajuk rencana sabtu lalu menarik karena ulasan kritisnya atas sekolah dengan label internasional.

Sekolah berstandar internasional juga menjadi salah satu bagian chapter dalam buku saya. Sekilas, buku saya memang nampak sebagai buku yang mempromosikan berbagai jenis sekolah. Salah besar! Buku saya tidak beranjak dari sana. Inti buku itu sebenarnya hanya ingin mengajak pembaca muda terinspirasi dan giat menuntut pendidikan. Bukan soal sekolah apa, di mana tapi soal pendidikan itu masih penting bagi semua. Pilihan nantinya seperti apa? silakan pilih sendiri. Buku saya hanya berusaha "sedikit membantu".

Di bawah saya kutipkan tajuk rencana tersebut yaa..


Sekolah Berlabel Internasional
Sejenak mari kita belokkan perhatian. Alih-alih pelengkap keasyikan bergosip video porno, praksis pemerintahan yang berakhir tanda tanya, dan gegar Piala Dunia 2010.
Lima tahun sudah diselenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) jenjang dasar dan menengah, umum dan kejuruan. Sudah diperoleh sejumlah sekolah bertaraf internasional (SBI), sudah pula ada yang didrop dari status RSBI ke status sekolah reguler.
Benar kritik RSBI menciptakan kastanisasi sekolah. Benar harapan agar RSBI tidak dijadikan merek dagang menjual sekolah. Kritik dan harapan sebaiknya tidak dianggap sepi, tidak digolongkan ekses. Membiarkan berarti menaruh pupuk berkembangnya benih kecurigaan.
Rencana evaluasi RSBI hendaknya tidak selesai dengan membereskan ekses. Tidak hanya menyangkut penarikan dana dan kriteria penilaian, tetapi juga maksud dasar kebijakan RSBI. Setiap era selalu ada eksperimen, di antaranya yang serba unggul dengan beragam nama, seperti sekolah unggulan, pembangunan atau teladan, dan sekarang bertaraf internasional.
Era globalisasi menjadi batu sendi dan pemicu kebijakan RSBI. Salah satu cirinya bahasa pengantar Bahasa Inggris. Muaranya hasil lulusan dan praksis pendidikan setaraf internasional. Syarat terpenting perbaikan prasarana dan sarana belajar, termasuk faktor guru.
Ujung-ujungnya duit. Perlu droping dana khusus, seperti tahun 2008-2010 setiap SMP berstatus RSBI Rp 300 juta per tahun dan setiap SMA RSBI Rp 300 juta-Rp 600 juta. Begitu RSBI dinyatakan SBI, dana dihentikan. Sekolah dianggap sudah memenuhi empat kriteria: infrastruktur, guru, kurikulum, dan manajemen.
Sekolah ibarat barang dagangan seiring dengan pemberlakuan standar tunggal manajemen ISO. Dengan standar itu, tanpa disadari, bukan juga ekses, tercipta kastanisasi sekolah seperti yang dikritik kolumnis Darmaningtyas, mulai dari yang internasional hingga pinggiran—bersaing dengan swasta internasional yang makin bertebaran di kota besar atas nama usaha bisnis.
Kita tidak ingin terjebak dalam pola eksperimen masa lalu. Pembukaan UUD 45 mengamanatkan mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan bangsa bukan untuk segelintir warga—yang berkemampuan finansial—melainkan untuk sebanyak mungkin warga bangsa. Kita dukung kebijakan mengatasi masalah distribusi guru. Sekadar contoh, meskipun tidak mudah, kemudahan mutasi guru antarprovinsi setidaknya merupakan terobosan, mengingat 68 persen sekolah di perkotaan kelebihan guru dan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru.
Kenyataan hampir 65 tahun merdeka, tetapi masih jutaan anak bersekolah di bawah cibiran ”kandang ayam”, tentu lebih perlu prioritas daripada membangun sekolah unggulan bertaraf internasional. Sekalian mencegah, jangan sampai ”bertaraf internasional” menjadi sekadar ”bertarif internasional”!

Privasi dan Panggung Dunia
Luar biasa gelombang yang ditimbulkan oleh beredarnya video syur mirip artis. Wacana tentang hal itu menghiasi berbagai rapat dan pertemuan.
Di rumah, warung kopi, dan bahkan di kantor isu itu menjadi bahasan. Sementara itu, yang mengunduh videonya tidak bisa lagi dibatasi hanya di kota besar di Jawa, tetapi bahkan hingga Papua. Dari sisi usia, terdengar kabar siswa-siswi berbondong ke kios internet untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Ulasan ini, tanpa menukik ke aspek moralitas, ingin menegaskan kenyataan, apa yang semula kita andaikan sebagai domain privasi, oleh satu aksi yang disengaja atau tidak, lalu tampil di panggung teknologi informasi-komunikasi (TIK) dunia. Internet menjadi media utamanya.
Bagaimana kita memandang soal privasi ini pada era digital? Pernah CEO Sun Micro System Scott McNealy dikutip mengatakan, ”Privacy is dead, deal with it.” Yang lain menambahkan, privasi pada era digital tidak mati seperti diyakini McNealy, tetapi sudah kritis.
Tak diragukan, hilangnya privasi karena generasi milenium digital sudah melakukan apa yang McNealy katakan, ”Deal with it”, menerima perkembangan baru ini. Bahkan, ada yang memeluknya (embrace it). Individu yang membeberkan apa yang dia lakukan dalam blognya atau dalam status Facebook-nya sehingga orang lain tahu secara detail apa yang dia lakukan jelas telah merelakan privasinya—seperti yang kita tahu selama ini—untuk berubah menjadi informasi publik. Apa yang semula merupakan rahasia pribadi kini menjadi pengetahuan publik.
Namun, di luar yang bersifat sukarela, ada yang sebenarnya tetap ingin dijaga sebagai rahasia, tetapi lalu lepas—bisa karena dicuri—dan terbeber di ranah publik. Celakanya, pada era digital, informasi rahasia menyebar tidak sebatas kampung atau kota asal, tetapi ke seluruh penjuru dunia. Pada era digital, sebarannya juga dalam wujud multimedia yang hidup.
Kejadian video syur yang menghebohkan selama sepekan terakhir bisa terjadi pada era digital sekarang ini karena TIK memungkinkan pihak tertentu mendapatkan informasi tentang seseorang ada di mana, membeli apa, dan berkehidupan seperti apa. Informasi yang diperoleh tadi dikumpulkan, disimpan, dan disebarkan/dibagi dalam skala yang—menurut majalah The Economist—tak terbayangkan bisa dilakukan oleh diktator zaman dulu.
Situasi yang ada dilukiskan Simson Garfinkel dalam bukunya, Database Nation, di mana ia menyatakan, ”Privasi kita sedang diserang.” Yang menjadi soal, ”Kita tidak tahu bagaimana harus menyerang balik.” Harusnya kita memasang lapis baja digital bagi diri kita, usul Brock Meeks.
David Brin dalam Transparent Society masih menyebut transparansi tetap harus menyiratkan keteduhan di rumah dan terpeliharanya hak untuk sendiri. Namun, seperti dibuktikan oleh meluasnya video syur mirip artis, masih mungkinkah itu?
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/12/04293990/tajuk.rencana






Read More...

Sunday, June 6, 2010

ciremai Oh ceremai

Peristiwa ini terjadi ketika saya masih SMA, sekitar tahun 1990-an. Meski telah berlalu kurang lebih 20 tahun lamanya, saya tak pernah lupa. Saya mungkin memang makin mudah pikun, tetapi kisah menarik tidak mudah dilupakan begitu saja. Semasa SMA, naik gunung adalah salah satu kegemaran saya. Sehingga pada waktu-waktu tertentu saya gunakan untuk naik gunung. Biasanya saat musim liburan datang. Bahkan bukan musim liburan pun saya tetap naik gunung.

Saya malah lebih tepat disebut anak gunung ketimbang anak SMA. Karena jarang ada di sekolah tetapi sering ada di gunung. Bersama teman atau sendiri pun jadi. Tak ada rasa takut, saya menikmati kesendirian menjejak tanah-tanah pegunungan seorang diri.

Ciremai, itulah gunung tujuan saya saat itu. Ciremai acapkali disebut juga Ceremai. Gunung yang terletak di Provinsi Jawa Barat ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. Pernah lihat pohon perdu berbuah kecil berwarna hijau dan memiliki rasa asam? Yup, itu lah cereme. Dari buah asam tersebut nama gunung diambil. Sementara awalan "ci" adalah awalan yang biasa disematkan pada banyak nama lokasi sekitar Jawa Barat, termasuk tempat tinggal orang tua saya, Cimanggis.

Gunung api ini saya tuju setelah sebelumnya saya mampir ke rumah saudara di wilayah Cirebon, sekalian bersilaturahmi. Beberapa hari di Cirebon ternyata membuat beberapa anak muda sekitar (buah hasil nongkrong-nongkrong) ingin ikut naik ke Ciremai bersama saya. Maka, berangkatlah kami, kurang lebih sekitar 15 orang menuju Ciremai.

Perjalanan selama naik dan turun gunung tidak ada hambatan berarti. Yang jelas, kami memang hanya membawa uang secukupnya. Setelah sampai di kaki gunung, terasa laparnya perut kami. Maunya sih, mampir makan dulu di warung. Apa daya, uang hanya cukup untuk ongkos pulang. Saat itulah, kejadian gila ini dimulai.

Salah seorang teman saya, Tolo melihat ada warga yang sedang hajatan alias resepsi nikah. Eh, tak disangka-sangka dia langsung kabur masuk ke sana. Tak berapa lama kemudian, dia keluar sambil cengar-cengir. Alamak, ternyata dia berhasil numpang makan di resepsi kawinan orang. Padahal, kenal pun tidak. Hehe, dasar nakal dan memang perut lapar. Setelah Tolo sukses, satu per satu kami masuk ke tempat resepsi itu. Tak ada yang ketahuan, hehehe.... Kami pun pulang.

Lain waktu, lagi-lagi ke Ciremai, kali ini bersama dua orang teman sekolah di SMA. Kami terpaksa jadi buruh tani selama tiga hari karena kehabisan ongkos. Dari pagi sampai sore kami macul sawah. Oalah, siapa yang bilang macul sawah itu gampang?? Baru setengah hari, seluruh badan rasanya mau copot semua. 30.000 ribu rupiah, upah macul kami bertiga jadi ongkos kami pulang ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, badan pegal-pegal bukan karena naik gunung, tapi macul sawah!

to be continued
*ditulis berdasar cerita seorang kawan*
Read More...