Tuesday, October 13, 2009

how long would u wait for love ??


Menambahkan satu lagi postingan tentang cinta :)Tahun 2008 lalu saya nonton film yang bercerita tentang cinta, film yang cukup menyadarkan meski terkemas agak membosankan. "Love In the Time of Cholera" adaptasi novel laris Gabriel Garcia Marques yang berlatar akhir abad 19. Hampir sepanjang cerita menceritakan perjalanan waktu penungguan demi cinta. Akh, penungguan demi cinta… cinta yang datang sekedipan mata namun tak bisa hilang puluhan tahun lamanya. Tidak berbeda dengan roman percintaan yang lain, kisah cinta mereka harus berakhir karena alasan perbedaan status sosial ekonomi (klasik banget yah?). 

Kalau pernah nonton "the Notebook" pasti merasa bahwa "Love In the Time of Cholera" tidak banyak berbeda. Alur cerita keduanya mundur dengan ending dramatis ala kisah cinta sejati, bahagia dan abadi hingga mati. Bedanya, "The Notebook" memberikan ending yang lebih mengejutkan. 
Awalnya, ada sepasang kekasih yang jatuh cinta namun dipisahkan secara paksa. Si gadis akhirnya menikah dengan seorang dokter yang ditemuinya ketika sakit dan dikira terkena wabah kolera. Seperti judulnya, kisah cinta itu memang berlatar kondisi yang sedang diserang kolera. Pandemi yang mematikan. Meski menurutku, latar kolera ini tidak banyak diperlihatkan. (Sehingga mudah banget buat kita lupa kalau ada unsur kolera koleranya, hehehe. Beda dengan cerita cinta satunya lagi. Yang ada wabah Pesnya. Wah lupa judulnya apa...)

Si gadis pun hidup bahagia bersama suaminya yang dokter itu. Sedangkan si laki laki yang bekerja sebagai pengantar telegram terjebak dalam kegilaan cinta di desa kecil tempatnya tinggal bersama sang ibu. Jujur, di awal cerita aku menaruh simpati atas hidup si lelaki. Aku melihatnya sebagai karakter 'agak bodoh' yang tidak mampu melanjutkan hidup. Sementara si perempuan sudah menikah dan tampak bahagia. Di sisi lain aku merasa tertampar karena keberaniannya menunggu cinta sedemikian lama. Sebuah kualitas yang mungkin (tidak) dapat ditemukan hari ini. 

Pengalaman didiskriminasikan karena status sosial ekonomi membuatnya sekuat tenaga mengubah kondisinya itu. Tetapi ia tak pernah berhasil mengambil kekasihnya kembali. Dan selama perjalanan hidupnya yang panjang, dilewatinya dengan beragam pengalaman seks tanpa cinta. Akhirnya, kita diajak mengingat kembali adegan awal film. Saat seorang laki laki tua jatuh dari atas pohon yang dipanjatnya gara gara seekor burung. Dialah sang dokter, suami gadis itu. Itulah kabar gembira bagi si laki laki. Datanglah ia kepada gadis pujaan hatinya itu, seorang nenek nenek (sumpah, gue pengen ketawa). Adegan selanjutnya, nampaklah mereka berpesiar bersama. Sepasang kekasih yang baru bisa bersama setelah mereka renta.


Pelajaran penting : seks tidak ada hubungannya dengan cinta. Namun cinta mampu mengubah seks menjadi tidak sekadar transaksi kelamin. Jadi,  sedikit mengutip Beauvoir dan Gie, hanya cinta yang mampu membebaskan seks dari ekspoitasi jenis kelamin. Akhirnya, cinta melampaui segala yang fisik, yang terlihat. cinta menjadi entitas yang begitu transenden. Cinta mengabaikan usia, kerut-kerut, status sosial ekonomi, bahkan seks. 

Nb. Selamat menonton buat yang belum... Epung, makasih pinjeman dvd-nya.

0 comments:

Post a Comment