Friday, January 29, 2010

Memoar Mahasiswa Terlambat Bayaran

Hari itu saya bangun pagi pagi sekali. Segera menyiapkan diri untuk ke kampus, mengurus surat administrasi magang dan berencana membayar uang kuliah semester depan. Selesai itu, saya harus segera ke kantor tempat saya magang. Tidak ada uang di tangan, hanya selembar slip. Slip yang saya urus sendiri sejak awal bulan Januari. Bisa dibilang, saya menunggu-nunggu waktu bayaran ini. Karena artinya, saya bisa kembali melanjutkan kuliah setelah satu semester vakum. Vakum hanya karena mata kuliah magang yang saya akan ambil hanya ada di semester genap. Dan tidak bisa saya ambil mata kuliah lainnya karena sudah habis. Ini artinya, jika saya tidak magang tahun ini, maka tahun depan lah waktu selanjutnya.


Sambil berdebar menunggu transfer uang ke rekeningku. Jumlah yang mencukupi bayaranku kali ini. Duduk lah saya di dalam ruangan BAAK, menunggu si bapak yang hanya mau melayani pada jam 9 tepat. Meski saya datang 20 menit sebelum jam 9 tepat itu. Lalu, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Pengirim ternyata supervisor di tempatku magang. Dia, entah bagaimana caranya, mengetahui kesulitan administrasiku itu dan menawarkan bantuannya. Ahh, sayang saya sudah berada di kampus. Dan menunggu transferan yang tidak sampai sampai itu.

Ba’da sholat jum’at, saya panik. Ternyata tidak ada rekening yang sama dengan yang saya punya. Transfer biasa memakan waktu sampai dengan dua-tiga hari kerja, katanya. Karena kemungkinan itu, saya berusaha meminta perpanjangan waktu pembayaran. Setengah merayu setengah mendebat, tetap tidak ada gunanya. Maklum saya, si bapak itu memang bukan pengambil keputusan. Masih sambil menunggu transferan, saya akhirnya memutuskan meminta bantuan supervisor magang saya itu. Pesan singkat alias SMS pun saya kirimkan. Itu pun setelah susah payah mencari teman yang bersedia mengantarkan dengan motornya. Ahhh, terlambat saya. Supervisor saya itu sedang keluar kantor.

Akhirnya, sambil menunggu transferan itu saya menuju bagian akademik fakultas. Disana, si ibu meminta saya menemui seorang ibu juga di bagian akademik universitas. Tak perlu lah disebut nama, nanti saya dijerat UU ITE juga. Diantar seorang teman sekelas kuliah, saya berusaha menemui si ibu itu. Oalah… ternyata sedang ke puncak. Ke puncak ketika perannya sebagai konsultan mahasiswa bernasib seperti saya memerlukan bantuannya??? Lemaslah saya. Seorang bapak yang nampaknya mengerti kesulitan saya menyarankan agar saya menemui si ibu kepala. Katanya, berdo’a saja semoga dia berbaik kati kali ini. Tersenyum kecut saya melangkah menuju si ibu kepala sedang duduk. Anggap saja ingatan saya buruk, tapi saya merasa tidak pernah ada testimoni yang mengatakan dia punya toleransi soal itu. Dan benar saja, lagi lagi setengah merayu-setengah mendebat saya tak ada artinya. Dalam hati saya sampai bingung, kok bisa ya ada orang yang tidak punya kepedulian seperti itu? Mendengar alasan pun tak mau dia.

Tak ada satu jam sebelum bank tutup. Saya makin panic. Bersama beberapa teman menuju bank di belakang kampus. Satpam bank berbaik hati menunggui kami. Tapi ternyata, uang itu tetap tak bisa masuk. Yakin lah saya, senin baru bisa saya melakukan transaksi itu. Saya tahu ini tak ada gunanya. Tapi akhirnya, saya langkahkan kaki ke ruang jurusan saya. Berharap bisa ada celah dan dorongan jurusan dalam kasus semacam ini. Konsultasi terutama terkait soal kegiatan magang saya yang sudah dua hari berjalan. Mau diapakan ini? Dibatalkan? Atau kah ada kebijakan lain? Karena mata kuliah magang hanya ada di semester genap. Maka saya hanya bisa magang lagi tahun depan. Berharap ada solusi dari konsultasi, tetapi malah dievaluasi. Pantaskah memarahi orang lain karena orang itu tidak punya uang? Sama layaknya seperti kau memarahi orang semata-mata hanya karena dia miskin. Padahal yang miskin itu tidak pernah memintamu memberinya makan atau bahkan sekedar mengasihanimu.

Lelah saya seharian itu. Mungkin tidak banyak yang mengerti. Sebagian besar teman saya memang tidak pernah mengalami kejadian semacam ini. Ada saran saran, misalnya seperti menemui POM. Wah, bukan saya tak pernah mencoba, teman. Beberapa tahun lalu ketika saya punya masalah administrasi juga. Tapi kemudian saya urung, karena ternyata mekanismenya adalah dengan cara menggadaikan ijasah dan lalu diberikan pinjaman. Itu pun tidak membantu keseluruhan biaya administrasi kuliah. Pinjaman? Bukankah setiap semester para mahasiswa diwajibkan membayar iuran POM sebesar Rp. 10.000. Jumlah itu kami bayar tetapi kemudian dari jumlah itu juga kami diberi utang? Bahkan, cerita teman saya yang angkatan tahun 2003, malah disarankan untuk D.O! Alih-alih membantu kesulitan administrasinya.

Saya akui, iuran kampus saya memang lebih murah dibanding kampus negeri lainnya. Yang saya biasa sebut, “kampus negeri bayaran swasta”. Tidak mengapa saya harus menghabiskan masa studi selama 6-7 tahun. Terlebih setelah mengetahui ternyata tema skripsi saya sejak lama keburu jadi penelitian orang lain. Jauh tertinggal dari teman-teman seangkatan saya. Pikiran ini sudah terlintas sejak saya memutuskan melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya hanya takut kehilangan momentum, kehilangan semangat. Ini jauh lebih mengerikan.

Dahulu, seingat saya bersama kawan-kawan masih ada yang mengadvokasi masalah-masalah seperti ini. Sekarang pada kemana, saya juga tidak mengerti. Masing masing berjalan sendiri-sendiri. Padahal jelas yang sendiri itu tidak akan mengubah suatu apapun. Mengutip Proudhon yang sudah saya tambah-tambahi, “perubahan organik bukanlah kerja dari satu orang saja, meskipun ia punya para pewarta dan pelaku-pelaku, tetapi buah dari kehidupan yang universal”.

Dengan raut wajah tak keruan, perut lapar, mulut haus (sejak pagi tidak terpikirkan untuk itu) dan semangat yang hampir padam saya kembali ke kantor magang saya. Sambil belajar menabahkan diri, seperti kata supervisor saya itu. Berharap dosen pembimbing magang saya berbaik hati memberikan solusi. Terus memacu semangat saya pribadi, sembari berdo’a agar tidak ada lagi mahasiswa bernasib se-naas saya di kampus ini atau institusi pendidikan lainnya, dan belajar memaknai sisi positif setiap kejadian (agar tidak terlampau down). Ini saya tulis bukan agar dikasihani, bukan pula upaya mengasihani diri sendiri. Tetapi cara agar saya merasa lebih baik. Dan mungkin, juga agar yang pernah merasakan hal serupa tidak berpikir sendirian. Terakhir, mengutip GM, harapan adalah perlawanan terhadap ketidakmungkinan. Jadi, teruslah berharap. Paling tidak, jadikan sebagai awalan.

1 comments:

Anonymous said...

"Harapan adalah perlawanan terhadap ketidakmungkinan". Indah sekali.

Post a Comment