Tidak sedikit orang tua mengisahkan tentang anak mereka yang merasa terbebani setelah menduduki bangku sekolah. Bagaimana tidak, seorang anak diharuskan bangun pagi setiap harinya dan berangkat sekolah. Seusai jam sekolah, anak belum diperbolehkan pulang karena harus mengikuti les di sekolah. Tidak jarang, setelah pulang ke rumah si anak masih harus mengikuti les privat atau di lembaga bimbingan belajar. Belum lagi mengerjakan pekerjaan rumah dimana hukuman guru menunggu keesokan harinya di sekolah jika tidak dikerjakan. Bagi anak perempuan, masih ditambah menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Disini, sekolah tidak lebih dari penjara yang mengasingkan anak-anak dari realitas sekitarnya.
Membicarakan pendidikan berarti juga membicarakan lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah. Umumnya sekolah yang kita kenal adalah sekolah formal. Seringkali sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang legalitasnya diakui negara, sekolah menjadi terlampau formal, sempit, dan terbatas. Selain itu, sekolah juga masih mempunyai kultur yang feodal dan otoriter. Sekolah lantas menjadi proses belajar dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan seperangkat aturan yang ketat dan kaku. Tidak heran, sebagian dari kita melihat sekolah sebagai semacam neraka dalam bentuknya yang lain. Sedangkan bagi anak yang tidak dapat memahami apa yang diajarkan, sekolah hanya menjadi ritual harian untuk mendapatkan ijasah.
Sekolah formal tidak menyediakan ruang bagi anak-anak yang mempunyai kemampuan berbeda. Apalagi bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus. Begitu pula dengan ukuran keberhasilan yang hanya ditekankan pada aspek kuantitatif (angka-angka) seperti nilai ujian akhir dan nilai raport. Nilai ujian seolah mencerminkan seberapa jauh kualitas yang dihasilkan dalam proses belajar di sekolah. Padahal aspek keberhasilan dalam pendidikan tidak hanya menyangkut aspek kognitif. Melainkan juga aspek afektif dan psikomotorik. Paradigma ini seharusnya dijadikan acuan dalam menilai keberhasilan siswa. Sehingga yang terjadi bukan hanya transfer knowledge, melainkan juga tranfer value dan skill. Dengan orientasi seperti ini, bukan hanya pintar siswa juga memahami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya serta memiliki keterampilan hidup dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di masyarakat.
Banyak permasalahan muncul ketika membahas masalah yang berkaitan dengan sekolah. Ibarat benang kusut yang sulit diluruskan, menyelesaikan permasalahan pendidikan memang tidak mudah. Menjawabnya bahkan diperlukan kronologis penyelesaian. Apakah dimulai dari anggaran biaya, sistem pendidikan, mutu sekolah, kualitas guru, atau lainnya. Salah satu masalah yang paling mengkhawatirkan adalah komersialisasi pendidikan. Ini artinya hanya mereka yang memiliki uang saja yang dapat mengakses pendidikan. Bahkan ketika pendidikan tidak lagi dianggap sebagai public service, negara perlahan-lahan mulai mengambil jarak dan membiarkan institusi pendidikan berjalan sendiri. Ini jelas diperlihatkan oleh langkah kebijakan yang mengisyaratkan pencabutan subsidi pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan jelas berdampak terhadap angka partisipasi sekolah. Akibatnya keluarga miskin enggan menyekolahkan anaknya karena terbentur faktor biaya. Kesenjangan pendidikan antara kelompok ekonomi kaya dan miskin pun terjadi. Kesenjangan ini terlihat dalam hasil kajian data sekunder survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 1993-2004. Survei yang dilakukan di enam provinsi ini berdasarkan pengeluaran keluarga dengan jenjang pendidikan. Hasilnya, ternyata semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi pula kesenjangannya (Darmaningtyas, 2008).
Bagi perempuan, faktor gendernya telah membuat akses perempuan terhadap pendidikan lebih rendah daripada laki-laki. Hingga kini, masih banyak orang di berbagai belahan dunia yang berpendapat bahwa mengenyam pendidikan di sekolah hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Laporan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang diumumkan di Paris pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa di banyak negara, perempuan masih mengalami diskriminasi dalam hak-haknya menikmati pendidikan. Diskriminasi tersebut berkaitan dengan hambatan yang dialami perempuan, seperti tingginya biaya yang harus ditanggung keluarga. Akibatnya seringkali anak-anak perempuan dikorbankan dan harus bekerja membantu keluarga serta dikawinkan sebelum cukup umur. Dalam 10 tahun menjelang tahun 2000, sebanyak 57% dari 105 juta anak-anak yang tidak bersekolah adalah perempuan (R. Valentina, 2005). Beberapa riset lainnya juga menunjukkan perempuan umumnya memiliki tingkat melek huruf yang lebih rendah daripada laki-laki.
Bukan hanya masyarakat dengan kondisi sosio-kultural yang mengutamakan anak laki-laki yang meminggirkan perempuan dari dunia pendidikan. Di sekolah, kurikulum yang diajarkan juga masih sangat bias gender. Misalnya dalam mata pelajaran serta perlakuan sekolah terhadap anak didik. Materi pelajaran bahkan tampak disiapkan untuk pembagian gender. Belum lagi pandangan masyarakat bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda. Akibatnya perempuan semakin dirugikan dengan gambaran-gambaran stereotip tersebut. Pendidikan formal juga belum mampu menjawab kebutuhan spesifik perempuan. Seperti hak-hak reproduksi perempuan atau hak untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender. Juga berbagai permasalahan perempuan lainnya seperti traffiking, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi perempuan di tempat kerja, dan lain sebagainya.
Dalam Magna Didactica, John Amos Comenius (1592-1670), seorang uskup Moravia sekaligus pedagog yang pertama kali “menciptakan” wajib belajar 7-12 tahun memaparkan bahwa sekolah adalah alat untuk “mengajarkan segala hal pada semua orang” (Ivan Illich, 1998). Ketidakmampuan pendidikan formal mengakomodir kebutuhan anak yang berbeda lah yang memunculkan beragam alternatif dalam menempuh pendidikan. Baik berupa pendidikan non-formal atau pendidikan informal. Hal ini jelas dengan maraknya orang tua yang lebih memilih homeschooling atau sekolah alam bagi anak-anak mereka. Perihal mengenai pendidikan di luar pendidikan formal ini telah disebutkan dalam UU Sisdiknas.
Di Indonesia, mesti diakui bahwa sekolah terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai yang akhirnya sekadar menjadi alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan diakui. Tentu saja, apa yang diakui dan direstui ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Dalam konteks itulah pendidikan alternatif seperti yang dilakukan Paulo Freire di Brazil pada tahun 1970-1980an hadir. Begitu pula Ki Hajar Dewantara dan Dewi Sartika menyelenggarakan pendidikan alternatif sebagai counter terhadap sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial waktu itu.
Konsep pendidikan yang pada awalnya adalah untuk melawan sistem pendidikan mainstream ini kemudian menjadi alternatif. Terutama ketika sekolah formal mengalami dehumanisasi pendidikan dan sekolah non-formal terjebak dalam industrialisasi dan komersialisasi ilmu pengetahuan. Maka pendidikan alternatif mencoba menerobos mainstream dan status quo penyelenggaraan sistem pendidikan selama ini. Dimana anak didik diperlakukan sebagai objek dan sistem mengajar yang dilakukan adalah sistem komunikasi satu arah. Atau mengutip Freire, pendidikan dengan gaya bank (banking system).
Pada dasarnya, dalam pendidikan akternatif konsep yang dikembangkan adalah humanisme, kemerdekaan, kesetaraan, pluralisme, dan transformatif. Serta mengatasi masalah konkret hasil pendidikan yang tidak bermutu seperti korupsi, kebiasaan buruk terhadap lingkungan, atau mencontek hasil kerja orang lain. Pendidikan alternatif yang berkembang pun bisa dibedakan antara pendidikan alternatif yang ditujukan agar kelompok marjinal yang tidak tertampung di sekolah formal dapat menikmati pendidikan dan pendidikan alternatif yang digagas oleh kelompok tertentu serta hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu pula. Misalnya dapat dilihat dalam bentuk sekolah alam. Sekolah alam umumnya memang menganut metode pembelajaran yang unik dan berbeda. Namun di sisi lain, hanya kalangan ekonomi menengah ke atas saja yang mampu mengaksesnya.
Bentuk pendidikan alternatif yang hadir antara lain seperti sekolah perempuan Ciliwung, pendidikan kelompok perempuan pedesaan, pendidikan alternatif bagi anak-anak pesisir, urban, anak jalanan, pekerja rumah tangga, hingga sekolah si ibu kembar. Bentuk-bentuk pendidikan alternatif ini yang disesuaikan dengan komunitas akar rumput. Metode yang dilakukan antara lain berupa diskusi dan pengorganisiran. Menghilangkan hierarki antara pengajar dan peserta didik dalam pendidikan ini adalah satu hal yang berbeda dengan pendidikan formal. Selain itu, modul atau materi ajar dikembangkan secara bersama antara pengajar dan peserta didik.
Jika pendidikan formal selama ini lebih sebagai perpanjangan tangan rezim atau hegemoni kapitalisme dimana sekolah hanya menjadi barang dagangan. ,Pendidikan alternatif dapat menjadi jawaban atas rumitnya persoalan pendidikan, terutama bagi perempuan. Pendidikan alternatif bukan semata-mata mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga, juga bukan sekadar keterampilan. Melainkan agar mampu bertahan, namun tetap kreatif dan kritis dalam lingkungan yang tidak adil.
(dimuat dalam Tabloid Rakyat Bicara, Oktober 2009)
Membicarakan pendidikan berarti juga membicarakan lembaga pendidikan yang dinamakan sekolah. Umumnya sekolah yang kita kenal adalah sekolah formal. Seringkali sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang legalitasnya diakui negara, sekolah menjadi terlampau formal, sempit, dan terbatas. Selain itu, sekolah juga masih mempunyai kultur yang feodal dan otoriter. Sekolah lantas menjadi proses belajar dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan seperangkat aturan yang ketat dan kaku. Tidak heran, sebagian dari kita melihat sekolah sebagai semacam neraka dalam bentuknya yang lain. Sedangkan bagi anak yang tidak dapat memahami apa yang diajarkan, sekolah hanya menjadi ritual harian untuk mendapatkan ijasah.
Sekolah formal tidak menyediakan ruang bagi anak-anak yang mempunyai kemampuan berbeda. Apalagi bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus. Begitu pula dengan ukuran keberhasilan yang hanya ditekankan pada aspek kuantitatif (angka-angka) seperti nilai ujian akhir dan nilai raport. Nilai ujian seolah mencerminkan seberapa jauh kualitas yang dihasilkan dalam proses belajar di sekolah. Padahal aspek keberhasilan dalam pendidikan tidak hanya menyangkut aspek kognitif. Melainkan juga aspek afektif dan psikomotorik. Paradigma ini seharusnya dijadikan acuan dalam menilai keberhasilan siswa. Sehingga yang terjadi bukan hanya transfer knowledge, melainkan juga tranfer value dan skill. Dengan orientasi seperti ini, bukan hanya pintar siswa juga memahami nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya serta memiliki keterampilan hidup dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di masyarakat.
Banyak permasalahan muncul ketika membahas masalah yang berkaitan dengan sekolah. Ibarat benang kusut yang sulit diluruskan, menyelesaikan permasalahan pendidikan memang tidak mudah. Menjawabnya bahkan diperlukan kronologis penyelesaian. Apakah dimulai dari anggaran biaya, sistem pendidikan, mutu sekolah, kualitas guru, atau lainnya. Salah satu masalah yang paling mengkhawatirkan adalah komersialisasi pendidikan. Ini artinya hanya mereka yang memiliki uang saja yang dapat mengakses pendidikan. Bahkan ketika pendidikan tidak lagi dianggap sebagai public service, negara perlahan-lahan mulai mengambil jarak dan membiarkan institusi pendidikan berjalan sendiri. Ini jelas diperlihatkan oleh langkah kebijakan yang mengisyaratkan pencabutan subsidi pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan jelas berdampak terhadap angka partisipasi sekolah. Akibatnya keluarga miskin enggan menyekolahkan anaknya karena terbentur faktor biaya. Kesenjangan pendidikan antara kelompok ekonomi kaya dan miskin pun terjadi. Kesenjangan ini terlihat dalam hasil kajian data sekunder survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 1993-2004. Survei yang dilakukan di enam provinsi ini berdasarkan pengeluaran keluarga dengan jenjang pendidikan. Hasilnya, ternyata semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi pula kesenjangannya (Darmaningtyas, 2008).
Bagi perempuan, faktor gendernya telah membuat akses perempuan terhadap pendidikan lebih rendah daripada laki-laki. Hingga kini, masih banyak orang di berbagai belahan dunia yang berpendapat bahwa mengenyam pendidikan di sekolah hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Laporan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang diumumkan di Paris pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa di banyak negara, perempuan masih mengalami diskriminasi dalam hak-haknya menikmati pendidikan. Diskriminasi tersebut berkaitan dengan hambatan yang dialami perempuan, seperti tingginya biaya yang harus ditanggung keluarga. Akibatnya seringkali anak-anak perempuan dikorbankan dan harus bekerja membantu keluarga serta dikawinkan sebelum cukup umur. Dalam 10 tahun menjelang tahun 2000, sebanyak 57% dari 105 juta anak-anak yang tidak bersekolah adalah perempuan (R. Valentina, 2005). Beberapa riset lainnya juga menunjukkan perempuan umumnya memiliki tingkat melek huruf yang lebih rendah daripada laki-laki.
Bukan hanya masyarakat dengan kondisi sosio-kultural yang mengutamakan anak laki-laki yang meminggirkan perempuan dari dunia pendidikan. Di sekolah, kurikulum yang diajarkan juga masih sangat bias gender. Misalnya dalam mata pelajaran serta perlakuan sekolah terhadap anak didik. Materi pelajaran bahkan tampak disiapkan untuk pembagian gender. Belum lagi pandangan masyarakat bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda. Akibatnya perempuan semakin dirugikan dengan gambaran-gambaran stereotip tersebut. Pendidikan formal juga belum mampu menjawab kebutuhan spesifik perempuan. Seperti hak-hak reproduksi perempuan atau hak untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender. Juga berbagai permasalahan perempuan lainnya seperti traffiking, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi perempuan di tempat kerja, dan lain sebagainya.
Dalam Magna Didactica, John Amos Comenius (1592-1670), seorang uskup Moravia sekaligus pedagog yang pertama kali “menciptakan” wajib belajar 7-12 tahun memaparkan bahwa sekolah adalah alat untuk “mengajarkan segala hal pada semua orang” (Ivan Illich, 1998). Ketidakmampuan pendidikan formal mengakomodir kebutuhan anak yang berbeda lah yang memunculkan beragam alternatif dalam menempuh pendidikan. Baik berupa pendidikan non-formal atau pendidikan informal. Hal ini jelas dengan maraknya orang tua yang lebih memilih homeschooling atau sekolah alam bagi anak-anak mereka. Perihal mengenai pendidikan di luar pendidikan formal ini telah disebutkan dalam UU Sisdiknas.
Di Indonesia, mesti diakui bahwa sekolah terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai yang akhirnya sekadar menjadi alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan diakui. Tentu saja, apa yang diakui dan direstui ditentukan oleh siapa yang berkuasa. Dalam konteks itulah pendidikan alternatif seperti yang dilakukan Paulo Freire di Brazil pada tahun 1970-1980an hadir. Begitu pula Ki Hajar Dewantara dan Dewi Sartika menyelenggarakan pendidikan alternatif sebagai counter terhadap sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah kolonial waktu itu.
Konsep pendidikan yang pada awalnya adalah untuk melawan sistem pendidikan mainstream ini kemudian menjadi alternatif. Terutama ketika sekolah formal mengalami dehumanisasi pendidikan dan sekolah non-formal terjebak dalam industrialisasi dan komersialisasi ilmu pengetahuan. Maka pendidikan alternatif mencoba menerobos mainstream dan status quo penyelenggaraan sistem pendidikan selama ini. Dimana anak didik diperlakukan sebagai objek dan sistem mengajar yang dilakukan adalah sistem komunikasi satu arah. Atau mengutip Freire, pendidikan dengan gaya bank (banking system).
Pada dasarnya, dalam pendidikan akternatif konsep yang dikembangkan adalah humanisme, kemerdekaan, kesetaraan, pluralisme, dan transformatif. Serta mengatasi masalah konkret hasil pendidikan yang tidak bermutu seperti korupsi, kebiasaan buruk terhadap lingkungan, atau mencontek hasil kerja orang lain. Pendidikan alternatif yang berkembang pun bisa dibedakan antara pendidikan alternatif yang ditujukan agar kelompok marjinal yang tidak tertampung di sekolah formal dapat menikmati pendidikan dan pendidikan alternatif yang digagas oleh kelompok tertentu serta hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu pula. Misalnya dapat dilihat dalam bentuk sekolah alam. Sekolah alam umumnya memang menganut metode pembelajaran yang unik dan berbeda. Namun di sisi lain, hanya kalangan ekonomi menengah ke atas saja yang mampu mengaksesnya.
Bentuk pendidikan alternatif yang hadir antara lain seperti sekolah perempuan Ciliwung, pendidikan kelompok perempuan pedesaan, pendidikan alternatif bagi anak-anak pesisir, urban, anak jalanan, pekerja rumah tangga, hingga sekolah si ibu kembar. Bentuk-bentuk pendidikan alternatif ini yang disesuaikan dengan komunitas akar rumput. Metode yang dilakukan antara lain berupa diskusi dan pengorganisiran. Menghilangkan hierarki antara pengajar dan peserta didik dalam pendidikan ini adalah satu hal yang berbeda dengan pendidikan formal. Selain itu, modul atau materi ajar dikembangkan secara bersama antara pengajar dan peserta didik.
Jika pendidikan formal selama ini lebih sebagai perpanjangan tangan rezim atau hegemoni kapitalisme dimana sekolah hanya menjadi barang dagangan. ,Pendidikan alternatif dapat menjadi jawaban atas rumitnya persoalan pendidikan, terutama bagi perempuan. Pendidikan alternatif bukan semata-mata mengeluarkan anak dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga, juga bukan sekadar keterampilan. Melainkan agar mampu bertahan, namun tetap kreatif dan kritis dalam lingkungan yang tidak adil.
(dimuat dalam Tabloid Rakyat Bicara, Oktober 2009)
0 comments:
Post a Comment