Sunday, January 3, 2010

Punk: Meneropong Sisi Lain Sub-budaya Impor

Ini tulisan yang saya buat sudah lama sekali. Sekitar tahun 2006 (nggak lama-lama amat ya? hehe). Tulisan ini juga sempat didiskusikan dengan kawan-kawan di Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Dulu sekali, sewaktu saya masih mahasiswa tingkat awal. Juga, masih aktif di LKM. Perlu bagi saya menyimpan tulisan ini di blog. Mengingat hampir semua tulisan yang pernah saya buat lenyap bersama dengan raibnya 'kompie' yang digondol maling. Tulisan ini termasuk beberapa tulisan yang masih tersisa selama tahun-tahun pembelajaran menulis saya. Oiya, terakhir, tulisan ini membuat saya dipanggil untuk wawancara kontributor Change Magazine. Sebuah majalah remaja yang menginduk pada Jurnal Perempuan. Jurnal yang saya gemari di awal-awal masa kuliah saya. Well, enjoy the read...

           Suara musik itu sederhana, mudah dicerna, terdengar kompak, dengan lengkingan suara sang vokalis yang berteriak penuh semangat. Itulah yang telinga saya dengar saat pertama kali mendengar alunan musik lagu "lawan kemiskinan" yang menjadi salah satu tembang dalam album band punk "Bunga Hitam". Salah satu band punk di Indonesia yang mempelopori anarkisme. Lagu-lagu yang dibawakan pun bertema kritik sosial politik. Lirik sederhana, dengan ciri khas tiga chord yang menghasilkan musik enerjik dan membangkitkan adrenalin. Tak heran moshpit senantiasa hingar bingar, hingga seringkali saya terduduk sendiri dengan hanya tersisa satu-dua kawan karena semua kawan saya sudah membaur dengan lautan manusia yang asyik berpogo ria. Setidaknya itulah pandangan saya ketika menghadiri salah satu acara musik underground beberapa tahun lalu. Yup, beberapa tahun lalu karena kesibukan kuliah kini tak lagi menyisakan saya waktu kembali menikmati saat-saat seperti itu lagi.
            Berawal dari perkembangan budaya khas kelas pekerja sebelumnya di Inggris seperti Mods dan Rockers (pertengahan tahun 1960-an), Glamrock dan Glitter (awal tahun 1970-an) sampai kemunculan Punk pada pertengahan tahun 1970-an. Sedangkan di Amerika, punk muncul pada awal tahun 1970-an. Namun, baru pada akhir tahun 1970-an punk menjadi sebuah pergerakan yang nyata. Di Indonesia sendiri, Bandung seringkali disebut sebagai tempat tumbuhnya scene ini disamping Yogyakarta dan Jakarta. Di tengah arus deras masuknya budaya asing ke Indonesia dan semakin tergerusnya moral anak bangsa keberadaan punk memberikan warna tersendiri.
            Ketika mendengar tentang punk, seringkali yang terbayang adalah Blink 182, Green Day, dan lain sejenisnya. Kemudian dengan mudah memaknainya hanya sebagai salah satu aliran musik dengan fashionnya yang sangat khas. Yang sering tidak diketahui adalah punk lebih dari sekadar musik dan fashion. Dalam Philosophy of Punk, Craig O’Hara menyebutkan tiga definisi punk. Pertama, punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Kedua, punk sebagai keberanian memberontak dan melakukan perubahan. Ketiga, punk sebagai bentuk perlawanan yang "hebat" karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Definisi pertama lah yang seringkali dilihat karena diekspos oleh media. Padahal musik dan fashion hanya salah satu sarana untuk menyuarakan emosi dan pemikiran mereka.
            Dengan mengusung semangat perlawanan, punk masuk sebagai ideologi hidup anak muda di Indonesia. Seperti kebanyakan orang, biasanya memandang punk sebagai perusuh dan kebarat-baratan. Punk yang dapat dikatakan imitasi luar negeri ternyata sangat menghargai produk lokal, anti kapitalisme, dan juga anti kemapanan. Padahal mereka lahir di negara-negara kapitalis. Image punk sebagai komunitas yang kerap membuat rusuh dalam  sebuah acara memang tidak dipungkiri. Hal ini seperti dikatakan oleh Wendy,  salah seorang bagian komunitas punk yang mengaku sering berpindah-pindah scene dan sedang berencana membuat scene sendiri ditempat tinggalnya, Lubang Buaya. "Kalo yang kaya begitu sih anak-anak bilangnya ‘punk borok’ dan sebenernya kita pada ga kenal mereka lagi!" komentar Wendy saat saya menyinggung anak punk yang sering bikin rusuh kalau ada acara. Keberadaan punk perusuh atau menurut istilah Wendy ‘punk borok’ sebenarnya memang telah menjadi perdebatan dikalangan punk sendiri seperti kesuksesan beberapa band punk yang dianggap telah menodai idealisme mereka yang sangat anti eksploitasi dengan menggandeng record besar dan ekspos besar-besaran. Cap anarkis pun tidak luput dari mereka, tetapi lagi-lagi kita terjebak pada simplifikasi dan pandangan umum. Ajaran yang banyak mengambil teori Proudhon ini menginspirasi para anarkis untuk mencita-citakan sebuah anarkhia yang dianggap melambangkan keinginan individu untuk hidup dan bebas menentukan pilihan namun tetap menjaga kepercayaan dan toleransi. Di Indonesia semangat anarkisme dapat dirasakan dari band punk indie Bunga Hitam dan Marjinal.
            Terlepas dengan ideologi apakah mereka hidup, ada banyak sisi lain yang membuat sub-budaya ini berbeda dengan budaya asing lainnya. Ditengah semaraknya malam Jakarta yang menawarkan hedonisme dan semakin mengalienasikan penghuninya bahkan dari kemanusiaannya. DIY (do it yourself) adalah sebuah pandangan yang sangat menjunjung kemandirian tanpa melupakan sesama dan hakikatnya sebagai manusia. Dengan menciptakan fashion, musik, bahkan recording mereka sendiri. Setidaknya hal inilah yang patut kita contoh dari mereka, semangat DIY, semangat untuk mencintai produk sendiri dan merangsang kita untuk senantiasa berkarya. Sehingga kita tidak menjadi manusia yang hanya bisa mengkonsumsi tanpa pernah tahu bagaimana cara berproduksi.



Referensi:
Hebdige, Dick. Asal Usul dan Ideologi Sub-kultur Punk. Yogyakarta: Buku Baik. 2003.
Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
www.pikiran-rakyat.com
www.wikipediaindonesia.com
Zine-zine yang beredar di kalangan punk
Album beberapa band punk indie (Bunga Hitam, Fisticuff 86, Stupidity, Error Crew)
Cerita panjang seorang kawan, thanks

0 comments:

Post a Comment