Sometimes in April when the rain falls down. Sometimes in April when this land so wet, with rain, tears and blood.
Sometimes in April adalah sebuah pengingat. Pengingat bahwa peristiwa mengerikan pernah terjadi di bumi ini.
Rintik hujan di luar semakin deras. Sesosok lelaki berbadan tegap dan berkulit gelap berdiri di depan sebuah papan tulis hitam. Di hadapannya, duduk anak anak yang juga berkulit legam sepertinya. Seorang gadis kecil bertanya, “tak bisakah peristiwa itu dihentikan?” (kurang lebih nanyanya itu, gue lupa soalnya, hehe). Sang guru terdiam. Kemudian, di deret bangku sebelahnya, seorang gadis kecil hitam lainnya menanggapi bahwa itu adalah masa lalu yang telah lalu. Sebuah ungkapan, tentang “how to deal with the past?”
Sometimes in April, sebuah film tentang pelanggaran HAM berat. Terjadi di Rwanda tahun 1994. Tragedi kemanusiaan yang menewaskan sekitar 900.000 jiwa hanya dalam hitungan 100 hari. Bayangkan! bahkan kelahiran seorang manusia tidak terbentuk dalam waktu 90 hari saja. Film ini memang kalah popular dibandingkan Hotel Rwanda, yang saya dalam berbagai kesempatan menontonnya berulang kali. Juga film film seperti Shooting Dogs atau Shake Hands with the Devil, keduanya saya belum sempat nonton, hehe. Sometimes in April pun kebetulan jadi film yang saya dan teman teman tonton saat ikut pelatihan di Komnas HAM. Mungkin film ini seperti Imagining Argentina (salah satu film favorit saya), yang anehnya kenapa tidak banyak ditonton orang. Lain waktu saya akan cerita tentang film Antonio Banderas ini.
Sometimes in April diambil dengan sudut pandang korban, a survivor. Lelaki tegap yang di awal muka tadi berdiri di depan kelas. Seorang guru yang ternyata dulunya adalah tentara, yang menikahi perempuan suku Tutsi. Suku dimusuhi oleh suku sebangsanya sendiri. Suku yang dipanggil dengan sebutan "kecoak". Sebagai survivor, lelaki itu (namanya lupa ^^) belum bisa menyembuhkan trauma hebat yang dialaminya. Kehilangan anak dan istri menjadi pukulan yang lebih kuat daripada tinjunya Mike Tyson (halaah!). Yup, 10 tahun telah berlalu. Lelaki itu bahkan sudah hidup bersama perempuan lain, juga korban. Hingga sebuah surat membawanya ke sebuah kota, Arusa…kota dimana pengadilan HAM ad hoc dilakukan terhadap para pelaku. Salah satunya, adik kandungnya sendiri.
Adik kandungnya, seorang wartawan radio (Radio Television Libre des Mille Collines/RTLM). Diduga dan memang dalam film itu diceritakan terlibat dalam pembantaian tahun 1994 itu. Ironisnya, justru dengan cara kerja jurnalistiknya. Penghasutan besar besaran agar suku Tutsi dihabisi dari tanah Rwanda. Kebebasan pers yang kebablasan? Ah, saya tak pernah suka istilah itu. Pers memang harus bebas. Walaupun jelas tidak mungkin bebas nilai. Tapi apa saya membenarkan penggunaan pers sebagai media agitasi pembantaian massal tersebut? Jangan bercanda, saya pikir wartawan itu harusnya ikut training HAM dulu, hueheheh.
Hmm, tulisan ini nampaknya tidak ada analisis HAMnya sama sekali ya, hehehe. Lain waktu saja ya, saya kali ini hanya ingin bercerita tentang film ini. Well, Perang saudara memang selalu mengerikan, kawan.
Wednesday, January 13, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment