Masih segar dalam ingatan peristiwa STPDN, sekarang lagi-lagi kita (minimal saya lah) dibuat terkejut kejut atas tewasnya seorang santri sebuah pondok pesantren di Jombang. Keduanya memiliki motif serupa, tewas akibat dikeroyok oleh kakak kelas alias seniornya. Institusi pendidikan kita makin nampak carut marutnya. Tewasnya Handoyo, nama teman kita yang jadi korban itu, karena tindak kekerasan berupa pukulan dan tendangan yang kemudian menyebabkannya kehilangan nyawa.
Di sekolah, perilaku gencet-gencetan, gertak-gertakan sering disebut dengan istilah bullying. Dalam kamus bahasa Inggris, kata bully diartikan sebagai gertak, menggertak (kata kerja). Sebuah arti yang lebih merujuk pada jenis kekerasan verbal. Kenyataannya, di sekolah praktek bullying bukan hanya sekedar gertak-menggertak. tapi sudah lebih jauh menjadi sebuah tindak kekerasan fisik.
Bullying memang seringkali dilakukan oleh pihak yang lebih kuat dan punya kuasa (dalam hal ini kakak kelas atau senior) terhadap pihak yang lebih lemah (adik kelas atau junior). Bahkan, sejauh literature yang saya baca, ini adalah salah satu cirri khas bullying. Ini juga didukung oleh asumsi bahwa yang lebih muda wajib menghormati dan menaati yang lebih tua, tanpa kecuali. Hal ini paling bisa dilihath pada saat MOS (Masa Orientasi Siswa). Dimana seringkali justru, anak baru hak asasinya serta merta dicabut. Terutama untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berbicara. Karena aturannya pada saat MOS , yang paling benar hanyalah senior. Well, inilah sisa-sisa jaman feodal yang belum benar-benar terkikis dari sikap dan perilaku bangsa kita.
Selanjutnya, dalam kasus bullying, bukan hanya hak untuk mengeluarkan pendapat dan berbicara saja yang dicabut. Lebih jauh, menjadi hak untuk tidak disiksa. Ini terjadi tatkala senior mulai menggunakannya sebagai alat kuasa. mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan fisik yang menyebabkan kematian. Dalam kasus Handoyo, bukan hanya hak-hak sipol (social politik) nya telah diambil paksa, bahkan hak hidupnya juga telah dirampas. Padahal hak hidup adalah hak paling dasar yang tidak dapat dicabut (nonderogable rights). Oleh siapapun dan atas nama apapun.
Aturan ini tidak sembarangan lho, melainkan etika internasional. Sudah tertera dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Kemudian diperkuat lagi dalam kovenan dan konvensi yang lalu diratifikasi oleh tiap-tiap negara di dunia menjadi sebuah undang-undang. Jadi, bisa dimanapun kita berada, hak tersebut berlaku mutlak alias tidak bisa diganggu gugat!
Konsep mengenai HAM memang merupakan hubungan antara negara dan warga negaranya, warga republik yang saya cintai. Tetapi pada prinsipnya, negara wajib melakukan perlindungan terhadap hak hak warga negaranya. Ini terkait dengan kewajiban negara yang tiga itu: to protect (melindungi), to respect (menghormati), to fulfill (memenuhi).
Wednesday, January 13, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment